![]() |
Perlukah romantisme di usia pernikahan yang matang? |
Beberapa waktu lalu
teve menyiarkan berita pernikahan selebrita tanah air, Ibu Nani Wijaya dan Bapak
Ajib Rosidi. Pernikahan pada saat masing-masing berusia amat-sangat matang.
(ini usaha keras saya menghindari kata: lanjut usia). Romantisme semacam apa
yang dicari pada level usia sematang itu?
Ah, ya, tentu saja saya
tidak berhak menghakimi atau mencari-cari alasan pernikahan beliau. Beliau
tentunya lebih tahu kebutuhan apa yang mereka rasakan. Dan saya sedikit bisa meraba sekaligus berempati pada
pasangan sepuh tersebut.
Romantisme di Pernikahan Matang
Saya menyebut
pernikahan yang sudah mencapai 20 tahun adalah usia pernikahan yang matang.
Matang, karena telah melewati masa-masa yang penuh gejolak. Saya membahasnya di Titik Rawan Dalam Pernikahan
Pada titik ini, kita
dapat mengenal pasangan dengan baik. Kelebihan-kelebihan sekaligus
kekurangannya. Bisa berada di titik ini, merupakan hasil kompromi kita terhadap
pasangan. Pilihan kita – untuk kesekian kalinya--- untuk tetap membersamainya
meskipun kita tahu persis, betapa menjengkelkannya dia, umh... atau kita,
kadang-kadang.
Nah, dalam usia
sematang ini, terkadang romantisme –saya tetap menganggap hal ini penting dalam
sebuah pernikahan—hadir dalam bentuk yang tak terduga dan lucu.
Seorang teman – dalam sebuah
status di akun medsosnya-- menyarankan sebaiknya mengucapkan kata-kata cinta
tiga kali sehari. Agar pasangan tahu, betapa kita teramat mencintainya. Agar
cinta tumbuh subur, sesubur masa awal pernikahan. Sebelum semua menjadi
terlambat, dan kita tak sempat mengucapkan kata cinta.
Saran yang baik!
Lantas saya pun
mempraktekkan saran tersebut. Lebih pada rasa penasaran. Perlukah kita
mengucapkannya 3 kali sehari? Seperti laiknya minum obat. Tepat seperti yang saya perkirakan, suami saya
malah tertawa terbahak-bahak.
Dan anehnya, tidak membuat saya merasa sedih.
Mungkin,
bertahun-tahun bersama membuat saya insyaf, bahwa saya menikah dengan makhluk
Tuhan yang alergi dengan kata-kata romantis. Setidaknya, waktu telah mengajari
banyak hal, salah satunya berlapang dada.
Berbeda dengan
romantisme di awal pernikahan, dulu saya kerap menerima ucapan cinta berupa kartu ucapan yang terselip di bawah
bantal, romantisme di usia pernikahan duapuluh tahun lebih, muncul dalam bentuk saling lempar bantal, atau
berbalas kentut. Nggak jelas banget kan ya?
Kebersamaan mengarungi
biduk rumah tangga dengan segala persoalannya membuat kita percaya dan memahami
suami jauh lebih baik. Sehingga kata-kata penuh canda terasa jauh lebih
bermakna.
Begitu pula dengan
diskusi-diskusi seru tentang persoalan politik tanah air, dan segala hal
tentang kehidupan mengandung sisi romantisme tersendiri.
Dan, ya, terkadang, pijitan ringan di punggung tangan ataupun di
bahu menjadi momen indah. Cukup untuk menyampaikan rasa empati terhadap
pasangan. Cukup untuk mengisyaratkan cinta yang sama besarnya. Cukup menyampaikan degup yang sama
dalam dada.
Hal-hal semacam inilah yang membuat saya mengerti, mengapa ada saja pasangan usia lanjut berkeras untuk menikah, di tengah gunjingan yang tak sedap, barangkali. Kebutuhan untuk saling mengisi dan melengkapi terkadang jauh lebih besar daripada kebutuhan akan aktivitas badani. Dan pernikahan merupakan satu pilihan yang paling memungkinkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Simak juga tulisan Mbak Diah Dwi Arti : Menikah Pada Jumpa Pertama
Dan Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Sebelum Menikah di blog Mbak Ade Delina Putri
Baca juga :
5 komentar
Suamiku juga bukan tipe pria romantis dengan mengucapkan kata cinta setiap hari, mba. Tapi sikap dan perilakunya udah menunjukkan dia sayang. EHem. Smoga selalu Sakinah Mawadah Warahmah mba :)
BalasHapusTulisannya cocok di hati mbak. Walau pernikahan keduaku baru masuk tahun keenam bulan depan. Pernikahan pertama bertabur romantisme tapi hatinya tak ada buatku. Aku lebih nyaman menjalani pernikahanku yang kedua ini. Berbalas kentut itu aku bangettt 😊
BalasHapusIa itu mbak, kmrin heboh2 ttg pernikahan yg sudah sangat matang itu. Tapi kalau dipikir2 ya, menurutku itu baik krn mereka bisa saling melengkapi n membahagiakan dg cara mereka melalui iktan yg halal
BalasHapusPerlu banget! Menurutku sepanjang pernikahan memang perlu banget romantisme diciptakan. Supaya cinta terus menghangat dan tidak pudar :)
BalasHapusBerbalas kentut...aduhai ya mbak. memang beda ya romantisnya orang muda dengan orang yang ga muda lagi.
BalasHapustapi pernah seorang teman saya protes ke orang tuanya, katanya, "Bapak sama Ibu tuh suami istri apa bukan sih? Kok tidurnya sendiri-sendiri??"
Hihi... ya mungkin itu juga bentuk romantisme di kala usia matang ya. memberi privasi lebih kepada pasangan. atau...karena jumlah kamar yang kosong bertambah karena anak-anak sudah menikah semua.
Sahabat Moma, saya akan senang sekali bila Anda berkenan menitipkan jejak pada kolom komentar.
Dimohon untuk tidak meninggalkan link hidup. Bila tetap dilakukan, dengan terpaksa saya akan menghapus komentar tersebut.
Semoga silaturahmi kita terus terjaga.
Terima kasih... ^_^