Kisah Mesra Antara Aku dan Orang Cina di Sekitarku
By MomaLiza - 10.42.00
![]() |
Keluarga Besar |
Tulisan kali ini hampir seluruhnya tentang kenangan. Juga curhat tentunya. Kali ini aku mengabaikan SEO dan segala pernik optimasi blog. Aku hanya ingin menyampaikan keresahanku. Karena issue SARA yang kian memanas.
Suasana
belakangan ini sungguh tak nyaman. Dan aku pun
mengira-ngira, apa yang sekiranya dirasakan om dan tante-ku, dua orang adik
mamaku yang berdarah asli Cina.
Apakah aku
ada keturunan Cina? Tidak.
Meski tak memiliki setetespun darah Cina, Abahku
memiliki wajah oriental. Ini mungkin bisa menjelaskan mengapa sebagian anakku
juga memiliki mata sipit dan berkulit putih, meski emaknya berkulit eksotis
(baca : gelap).
Masa Kecil di Kepulauan
Masa kecilku
berlalu dengan menyenangkan di kota Kabupaten Tembilahan. Salah satu pulau di
antara pulau-pulau kecil yang ada di Kepulauan Riau. Udara laut yang panas,
sungai tenang bewarna cokelat muda, jembatan-jembatan kayu, rumah-rumah kayu
beratap seng, dan keramahan penduduk yang
terdiri dari beragam etnis menjadi pemandangan sehari-hari. Tepatnya hingga aku
berusia 11 tahun.
Aku
bersekolah di SD Muhammadiyah, salah satu SD favorit pada masanya. Jangan heran
bila di dalam kelas, aku mempunyai teman-teman Cina sebagai saingan berat dalam
mata pelajaran apapun. Ya, bahkan dalam pelajaran Hadist dan Sejarah Islam.
Hey, mereka pekerja keras dan mau belajar.
Beberapa
di antaranya menjadi teman dekatku. Mereka sering mengundang kami untuk bermain
bersama. Dan kami saling mengunjungi saat hari raya tiba. Dulu aku tak mengerti
mengapa kami berbeda. Mereka tampak biasa saja. Pun orangtua mereka yang
rata-rata berdagang kelontong di pasar.
Kami saling tolong menolong bila salah satu di antara kami terkena musibah. Seingatku, musibah yang paling sering melanda itu adalah kebakaran. Yup, karena daerah perairan, rumah yang didirikan di atas rawa dibangun dengan menggunakan kayu dan seng sebagai atapnya. Tidak pandang pribumi ataupun Cina, guru-guru kami menganjurkan kami untuk saling menolong bila ada yang tertimpa bencana.
Tetangga
sebelah rumahku pun Cina. Aku selalu ngiler
melihat bakpau-bakpau putih mengkilat dan bolu-bolu yang mengembang dan
menguarkan aroma harum. Sayang,mamaku tak pernah mau membelikan bila aku
merengek minta bolu. Bahkan mamaku diam-diam melarang enci sebelah rumah untuk memberi makanan apapun pada keluarga
kami.
Tetapi baik
mamaku atau enci sebelah tidak pernah melarang kami – aku dan A Hong, salah
satu teman kecilku, untuk bermain bersama. Itu artinya, kami memiliki hari-hari yang
menyenangkan dan penuh petualangan. Karena, aku tak tahu, apa bedanya aku dan A Hong, selain mata dan
kulit kami yang berbeda.
Oya, juga
pilihan pemilu kami pun berbeda. Suatu kali kami bertengkar. Dan itu adalah saat pemilu. Aku ngotot memilih gambar Ka’bah/ Bintang dan
ia memilih gambar Banteng. Seperti pilihan orangtua kami masing-masing. Akan
tetapi itu tidak menyebabkan kami berselisih terlalu jauh. Pasca adu mulut,
kami kembali asyik bermain.
Aku dan Om Cina-ku
Dulu aku tak pernah mengerti, mengapa om-ku dilarang
bermain jauh dari rumah Ayah (kakekku, tapi beliau tak pernah mau disebut
kakek, jadilah kami semua memanggilnya : Ayah). Untunglah rumah ayah besar. Beliau memiliki penginapan dengan belasan kamar yang sering dikunjungi tamu. Aku menghabiskan sebagian masa kanak-kanakku di penginapan ayah.
Dulu, aku juga tak mengerti, mengapa ada seorang bapak-bapak Cina, yang selalu
melintasi rumah Ayah setiap sore dan matanya selalu tertuju pada om-ku itu. Kakak-kakakku saling berbisik, tapi aku tak mengerti maksudnya.
Lalu ketika
aku memahami perbedaan di antara aku dan om – teman sepermainanku- itu, aku
menjadi makin tak mengerti, mengapa Mamih lebih menyayanginya. Padahal aku
adalah cucu kandungnya sendiri. Cucu
dari satu-satunya anak perempuan yang dimilikinya.
Berpuluh
tahun kemudian, ketika aku telah berumah tangga, di ujung usianya Mamih
menjelaskan semuanya. Ujar Mamih, bukan tak sayang pada cucu, tapi om-ku hanya
memiliki mamih. Sementara aku memiliki orangtua dan banyak saudara yang saling
menyayangi.
Usia om-ku
lebih tua setahun dari usiaku. Maka tak heran bila kami berteman sejak kecil.
Seingatku ia anak pintar. Selalu bisa melakukan banyak hal. Tentu saja, karena
Ayah memberinya fasilitas yang banyak. Berbeda dengan aku, anak abah yang harus
berbagi segala hal dengan saudara-saudaraku.
Permainan
apa saja yang sedang nge-trend, ia pasti punya. Ayah tidak pelit
membelanjakan uangnya untuk anak kesayangannya itu. Yang menyenangkan, om-ku
itu pun tidak pelit. Jadi, mainan dan makanan apapun yang dimilikinya, aku
pasti kecipratan. Ini tentu saja mengurangi rasa dongkolku.
Sifat
baiknya itu tidak berkurang, meski ia tahu, sejatinya ia berbeda. Perbedaan
yang makin disadarinya saat ia tumbuh remaja, lalu dewasa. Ada masanya ia
merasa tertekan, tampaknya sekarang ia sudah berhasil melewatinya dengan baik.
Good job, Om.
Aku dan Tante Cinaku
![]() |
Bersama Tante Lin |
Di masa
kecilku, aku tak terlalu mengenal tante Cina-ku ini. Usianya terpaut jauh, 10
th an dariku. Namun, ketika aku beranjak
remaja dan dewasa, kami cukup dekat. Ia tak ubahnya kakak perempuan bagiku. Hingga
kini.
Aku ingat
dengan baik, ketika keluarga aslinya datang ke rumah kami, mamih merasa gelisah. Ia
khawatir, tante-ku akan ikut bersama keluarga Cinanya dan meninggalkan mamih. Padahal ia telah merawatnya
sejak masih bayi merah hingga menyekolahkannya ke perguruan tinggi.
Apakah tanteku
akan meninggalkan mamih?
Ternyata
tidak.
Tanteku ini
telah menjadi bagian dari keluarga besar kami. Ia dicintai, dihargai dan menjadi
bagian tak terpisahkan. Bahkan mamaku dalam satu kesempatan lebih mengutamakan
kedua adik angkatnya yang berdarah Cina ini daripada anak kandungnya sendiri.
Mengapa?
Karena
ajaran Islam yang mengaliri nadi kami mengajarkan cinta kasih yang murni. Tidak
memandang ras. Tidak memandang suku bangsa. Kami saling mengasihi dengan
tuntunan yang diajarkan agama.
Ketika mamih
meninggal, ia menunggu kedatangan tanteku dari kota lain. Beliau mengembuskan napas saat
berada di pangkuan mamah dan tanteku baru melangkah ke pintu rumah. Dan jauh
sebelumnya, beliau berwasiat untuk membagi warisan sepertiganya untuk kedua
anak angkatnya itu.
Itulah
cinta.
Seperti juga
cinta yang diberikan secara diam-diam atau terang-terangan diberikan oleh tante
dan omku pada mamih. Cinta yang juga
mengalir pada mamah, pada kami. Cinta yang membuatku merasa tak nyaman bila
mereka diganggu.Seperti
dengan merebaknya issue SARA ini.
Ini menyakitkan bagi kami. Karena sebagai
muslim, kami sadar, kami satu. Muslim pribumi ataupun Cina, tak ada bedanya.
Kami mencintai negeri ini, saling menyayangi dan tidak merendahkan satu sama
lain.
Dan kami
benci pada mereka yang menyulut perpecahan. Yang mengatakan Tiko pada pribumi ataupun
mengatakan Cina Babi.
Sementara Al
Qur’an tak pernah memerintahkan memerangi orang kafir, kecuali orang-orang
kafir yang memusuhi kaum muslimin, yang melarang kami menjalankan ibadah dan
mengusir kami dari negeri-negeri kami.
Selama
mereka baik-baik saja, selama mereka tidak berulah, kami sungguh masyarakat
muslim yang ramah dan baik hati. Kakek, Nenek dan Mamahku telah membuktikan itu.
Mereka, orang-orang Cina yang hidup di masa kanak-kanakku dulu juga telah
merasakan kedamaian itu. Hidup berdampingan dengan masyarakat muslim dengan nyaman dan tenang.
Apakah kini
semua ini harus berakhir hanya gara-gara ulah kaum picik yang ingin berkuasa?
Oh, sungguh
menyedihkan....
2 komentar
Biarlah isu SARA hanya berlaku pada mereka yg membesar2kan masalah ya mba.. Buat aku Lakum dinukum Waliyadin aja ya kan..
BalasHapusBhineka Tunggal Ika hrs dijunjung tinggi dimanapun
BalasHapusSahabat Moma, saya akan senang sekali bila Anda berkenan menitipkan jejak pada kolom komentar.
Dimohon untuk tidak meninggalkan link hidup. Bila tetap dilakukan, dengan terpaksa saya akan menghapus komentar tersebut.
Semoga silaturahmi kita terus terjaga.
Terima kasih... ^_^