Tulisan ini merupakan lanjutan dari Fakta Tentang Anak dan Titik Rawan Dalam Rumah Tangga
Sahabat
Moma, dua puluh tahun silam, seorang pemuda – melalui seorang sahabat- pernah
bertanya. Salah satunya tentang anak. Ketika itu saya menjawab lewat sebuah
tulisan. Bahwa ....
Anak
adalah madrasah
Tempat
orangtua belajar alif, ba, ta dirinya dan Tuhannya
Anak
adalah sekolah
Tempat
orangtua belajar a,b,c kehidupan, dan
hakikat penciptaannya.
Anak
adalah cermin
Tempat
orangtua kembali berkaca untuk mengenal dirinya sendiri.
(masih
panjang uraian yang saya tuliskan tentang anak ini, tapi poin-poin di ataslah
yang paling melekat dalam benak saya). Qadarullah, tak lama kemudian Allah Swt
mempertemukan saya dengan pemuda itu dalam sebuah ikatan suci atas nama-Nya.
Jawaban
yang saya berikan ketika itu, merupakan jawaban ideal. Hasil proses perenungan
seorang mahasiswi semester 8. Ideal memang, tetapi belum memiliki pengalaman
apapun terkait masalah anak.
Dan
ketika Allah Swt mentakdirkan saya memiliki 3 balita dalam 6 tahun pertama
pernikahan kami, mendadak saya lupa gambaran ideal saya tentang anak. Hari-hari
seolah berlari. Melesat. Hingga kerap saya gagal memaknai hari-hari yang telah
lalu.
Apakah
saya bahagia?
Perlukah
itu ditanyakan bila kehadiran anak menjadi semesta bagi seorang ibu? Bila air
mata anak menjadi panah yang menghunjam di sanubari seorang ibu?
Tidak
pernah ada kata sesal atas kelahiran mereka yang susul-menyusul. Karena setiap
lelah terbayar tunai ketika melihat mereka tertawa ceria.
Alhamdulillah,
kini saya menjadi ibu dari 7 anak-anak yang baik dan tidak terlalu menyulitkan
saya. Bahkan mereka seperti tim penghibur yang kompak. Yang membuat hidup ini
terlalu ceria untuk dijadikan bak drama Korea. Saya curiga, mungkin, ini juga
yang menjadi salah satu resep awet muda. Hehehe...
Ya,
saya sadari, saya bukanlah ibu yang baik bagi mereka. Sebagai ibu, masih terlalu banyak kekurangan
yang melekat di diri ini. Meski sudah belasan tahun mendampingi anak-anak, masa
belajar –ternyata- belum berlalu. Saya pun masih terbata-bata belajar menjadi
ibu.
Selama
belasan tahun pula, saya belajar mengatasi dilema-dilema dalam rumah tangga
dengan anak-anak yang menjadi pusatnya. Berikut beberapa hal yang saya rangkum
dari perjalanan saya bersama anak-anak, tentunya juga bersama Si Dia.
7 Cara Mengatasi Dilema Dalam Rumah Tangga Sejak Dini
1. Anak itu diinginkan
Tidak
ada seorang anak pun yang meminta untuk dilahirkan. Atau memiliki kesempatan
untuk menawar, pada siapa mereka dititipkan. Kita-lah menginginkan kehadiran
mereka. Kita-lah meminta mereka menjadi buah hati kita. Tempat kita menyemai
harapan dan masa depan.
Kesadaran
bahwa kehadiran anak itu diinginkan, di-mau-i, akan menumbuhkan kesabaran luar
biasa dalam menghadapi polah mereka yang terkadang menjengkelkan. Ya, anak
tidak selalu lucu dan menggemaskan. Ada kalanya mereka membuat kita
mengeluarkan ‘tanduk’. Namun, bagaimana pun mereka adanya, bukankah keberadaan
mereka kita inginkan?
2. Libatkan peran ayah sejak awal
Ketidakbecusan
saya sebagai ibu pada masa-masa awal, ternyata merupakan anugerah tersendiri
bagi saya dan anak-anak. Betapa tidak, yang mengajari saya memandikan, bahkan
menggendong anak, adalah ayah mereka. Dan, ya, termasuk ketika meninabobokan
mereka.
Pengalaman
saya yang nol besar dalam merawat dan mengasuh bayi itu menciptakan kelekatan
antara anak dan ayah secara alamiah. Itu sebab, saya bisa dengan santai meninggalkan
bayi mungil saya di rumah, selama ada ayahnya yang mendampingi.
Hingga
anak yang ke-7, tradisi memandikan anak di awal kehidupannya menjadi kehormatan
bagi Sang Ayah. Ayah bahagia, dan ibu pun senang, karena bisa beristirahat
sejenak pasca melahirkan.
3. Tidak ada anak ayah atau anak ibu
“Jangan
biarkan ada anak ayah, ada anak ibu,” pesan Mamah di masa awal saya menjadi ibu. Misal, anak
pertama anak ayah, anak kedua anak ibu. Atau yang cantik anak ibu, yang kurang
cantik anak ayah. Atau seperti apapun bentuk pembagiannya.
Ini saya pahami kemudian, bahwa anak akan
terkotak-kotak dan terbelah dalam pemberian kasih sayang dan perhatian. Mereka
tidak akan merasakan nikmatnya memiliki orangtua yang utuh. Tidak bisa
merasakan perasaan yang sama antar saudara, serta lebih rentan menimbulkan
kecemburuan antar anak.
4. Jangan buruk sangka
Dalam
membersamai anak-anak, hal yang saya rasa paling menguras emosi adalah ketika
bersabar terhadap amarah yang ditujukan suami pada anak-anak. Sebagai ibu,
sungguh tak rela rasanya ketika melihat anak-anak dimarahi oleh siapa pun.
Termasuk ayahnya sendiri. Ini menyakitkan. Ini juga merupakan dilema rumah tangga
yang menyebalkan, menurut saya.
Tapi
jangan lupa, meski kita yang mengandung dan merawat mereka, ada ayah yang miliki
hak yang sama besar, terutama dalam mendidik anak-anak. Tidak pada tempatnya,
kita berburuk sangka pada ayah dari anak-anak.
5. Hidupkan komunikasi
Komunikasikan
pada suami dengan cara yang paling disukainya, bila kita tidak setuju akan
sikapnya terhadap anak-anak. Dan
terimalah saran dan pendapat suami bila ia merasa keberatan terhadap sesuatu
khususnya yang berkaitan dengan pendidikan anak, karena pendidikan ini salah
satu sumber konflik yang paling sering terjadi dalam rumah tangga.
Ceritakanlah juga mengenai anak-anak yang luput dari pandangan
dan pendengarannya. Agar suami mengetahui setiap perkembangan anak-anaknya.
6. Satu suara
Setiap
anak memiliki kecerdasan alamiah yang bisa mendeteksi siapakah di antara kedua-orangtua-nya
yang paling bisa dimanipulasi untuk memperoleh keuntungan pribadi. Ini serius.
Sejak balita anak-anak saya memiliki kemampuan itu. Oleh karena itu kami
sepakat untuk satu suara.
Satu
suara ini bukan hal mudah. Butuh pengorbanan dan upaya keras menekan ego ketika
keinginan kita berseberangan dengan suami, ayahnya anak-anak. Juga sebaliknya. Jangan
biarkan perpecahan menjadi titik pemicu konflik antar orangtua.
Karena
itu, seringkali kami membahas terlebih dahulu, apa yang akan kami sampaikan
pada anak-anak. Apa bila salah satu, dari ibu atau ayah, telah menyatakan suatu keputusan, maka yang
lain terpaksa ataupun suka rela harus diam dan setuju.
7. Berbagi peran
Berbagi
peran di sini bukan hanya perihal mencari nafkah dan mengatur rumah tangga.
Tetapi lebih kepada bagaimana cara menghadapi anak-anak. Terkadang, saya yang
berperan sebagai emak bawel dan menyebalkan, sementara suami berperan sebagai
ayah yang bijak. Terkadang juga sebaliknya. Tergantung situasi dan anak yang
mana yang tengah dihadapi.
Pembagian
peran ini akan membuat kelekatan ayah dan ibu pada anak menjadi sama. Kalaupun
ada bedanya, namun tidak sedalam jurang. Tidak membuat anak merasa asing pada
ayahnya sendiri.
Saya
percaya, selain hal-hal yang disebutkan di atas, tentunya masih banyak lagi
cara mengatasi dilema yang timbul dalam keluarga. Saya hanya menyebutkan
beberapa hal yang pernah saya alami selama ini.
Meski
masih banyak kekurangannya, saya berharap tulisan ini bermanfaat bagi para
pembaca. Hingga saat ini, saya pun tengah belajar menjadi ibu. Karena menjadi
ibu merupakan proses belajar yang tak pernah usai. Salaaam... ^_^
Baca juga artikel ini yaaa :
Quality Time Bersama Pasangan : 5 Tip Sederhana Merawat Pernikahan
5 Penyebab dan Tips Mengatasi Gagal Paham Antara Suami-Istri
Baca juga artikel ini yaaa :
Quality Time Bersama Pasangan : 5 Tip Sederhana Merawat Pernikahan
5 Penyebab dan Tips Mengatasi Gagal Paham Antara Suami-Istri
Say, no 4 itu, kenapa dari zaman mamak dulu masih nyaman dirasakan oleh emak-emak kekinian pun ya..hahahaha...
BalasHapusAnak dicolek, emak meradang... hahaha
HapusDuuuuuh momaaaa......setiap baca Tulisanmu tentang anak, selalu iri....iri pada sederetan makhluk imut yg dititip Allah Padamu, sementara saya hanya dititip satu....padahal saya sayang anak, jadilah anak anak orang saya anggap anak....good luck teh lizaaa
BalasHapusTeh lia, anak itu hak Allah... satu, dua atau lebih syukuri sajaaa
HapusWell noted mbak. Penting banget untuk reminder saya nih. Makasih untuk tulisannya yg slalu menginspirasi.
BalasHapusAlhamdulillah... makasih atas kunjungannya yaaa
Hapus2 dasawarsa, 7 anak. Percayalah anyak pengalamannya. Aku yang usia pernikahannya baru setengahnya aja ngerasa ruempong padahal baru 4 bocilnya. Terima kasih Mba Liza. Inspiring.
BalasHapusSama-sama Neng Cahya ^^
HapusDuh kalau anakku lengket banget gak bisa ditinggal lama-lama sama ayahnya
BalasHapusAda masanya memang Mbak Dewi, anak lengket banget sama ibunya. Biasanya dari 4 bulan sampai 1-2 tahun. Tapi,karena melibatkan si ayah sejak awal kehidupannya, anak relatif lebih mudah ditinggal sama ayahnya.
Hapusparenting emang hrs trial and learn ya mbak, sy bayangun serumah mak Liza ma 7 org, pasti rameee
BalasHapusBanget Mbak Pritaaaaa....
BalasHapus