![]() |
Tips mengelola amarah amat penting bagi seorang ibu |
Saya percaya,
tidak ada seorang ibu pun di dunia ini yang ingin mengisi hari-harinya dengan
mengumbar amarah, terlebih pada buah hatinya. Sayangnya, kemarahan itu sering
muncul begitu saja. Nyaris seperti kebiasaan yang sulit dihindari. Bila Anda tergolong ibu pemarah, barangkali tips mengelola amarah dalam artikel bermanfaat dan dapat membantu.
Saya
teringat di masa-masa awal menjadi ibu. Ketika itu saya masih amat muda (ehm!)
dengan pengalaman yang minim. Menjadi ibu bukanlah perkara mudah. Selain harus berjibaku
dengan pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai, saya juga harus berurusan
dengan balita yang lahir susul-menyusul. Dus, beradaptasi dengan suami, sosok
yang begitu asing pada mulanya.
Sungguh tak
mudah.
Pelahan,
saya mulai kehilangan kendali atas diri saya. Saya yang semula ceria dan easy
going berubah menjadi orang yang menyebalkan, pemarah dan tak sabaran. (puk-puk
Pak Suami yang mau bersabar menghadapi tingkah istri mudanya. Eh, mamah muda, maksudnya. ^_^)
Ketika
itu, ngomel dan cemberut adalah menu harian yang wajib ditelan suami dan para
balita itu. Jarang sekali saya bisa tertawa lepas dan berwajah ceria. Kalaulah
ada, maka itu hanya sesaat. Dan itu dapat dipastikan di awal bulan. Atau, ketika anak-anak berada dalam asuhan Pak Suami, dan ibu bisa sedikit rileks saat
jalan-jalan di mal.
Semakin
bertambah usia, bertambah pengalaman, dan bertambah juga jumlah anak yang lahir
kemudian, saya justru semakin santai menikmati keseharian saya sebagai seorang
ibu.
Saya
mulai bisa menikmati kelucuan-kelucuan tingkah polah anak-anak saya. Hal yang
dulu bisa membuat saya marah, kini terlihat lucu dan menggemaskan. Saya
menikmati kerepotan menghadapi Si Kecil dengan lebih santai dan lapang dada.
Dan....
ternyata ini sering lho menuai protes dari anak-anak yang tumbuh dan besar
dalam asuhan ibu yang pemarah (ups, ibu yang masih muda). Mereka protes,
melihat sikap ibu yang lunak terhadap ulah adiknya. Sebab, ketika mereka
melakukan hal yang sama duluuu, ibunya pasti langsung marah dan bertindak
tegas. (Duh, maafkan ibumu ya, Nak. Dulu kan ibu masih belajar menjadi ibu)
Jujur,
betapa kerap saya menyesali ketidaksabaran saya di masa lalu. Kemarahan yang begitu
mudah diumbar hanya untuk hal-hal yang sepele. Sering saya berharap,
waktu bisa diputar ulang. Agar saya bisa bersabar menghadapi mereka. Sehingga mereka tumbuh menjadi anak-anak yang penyabar
dan juga lapang dada.
Sayang
waktu tidak bisa diputar ulang. Dan pengalaman adalah guru terbaik sepanjang
masa.
Rasa sesal itu terus membayang seiring dengan pertumbuhan mereka, seandainya dulu saya menemukan tips mengelola amarah, mungkin rasa sesal yang muncul tidak terlalu menyesakkan dada.
Berdasarkan pengalaman di masa lalu, saat membersamai para balita yang mengemaskan itu, saya mencoba berbagi, barangkali tips ini bermanfaat bagi Sahabat Moma ^_^
Berdasarkan pengalaman di masa lalu, saat membersamai para balita yang mengemaskan itu, saya mencoba berbagi, barangkali tips ini bermanfaat bagi Sahabat Moma ^_^
5 Pemicu dan Tips Mengelola Amarah
1. Ketidakpatuhan dianggap sebagai serangan terhadap ego pribadi.
Mom,
seringkali amarah saya meledak saat anak tidak patuh. Maunya saya, setiap kali menyuruh anak melakukan atau tidak melakukan suatu
pekerjaan, mereka menurut. Patuh tanpa protes. Itu saja.
Akan
tetapi, bukan anak-anak namanya bila tidak melakukan uji coba.
Termasuk, menguji kesabaran ibu. Celakanya, saya kerap terpancing dan menganggap
ketidakpatuhan itu sebagai serangan terhadap ego pribadi.
Jangan mau kalah sama anak, demikian pesan Mama saya jauh-jauh hari. Dan saya menerapkan pesan itu tanpa melihat situasi. Akibatnya, saya sering meledak bila anak tidak mematuhi perintah.
Jangan mau kalah sama anak, demikian pesan Mama saya jauh-jauh hari. Dan saya menerapkan pesan itu tanpa melihat situasi. Akibatnya, saya sering meledak bila anak tidak mematuhi perintah.
Padahal, mungkin saja ketidakpatuhan itu berasal dari ketidakmengertian anak. Atau, anak tengah sibuk mengeksplorasi dunia mereka.
Mom, daripada membuat anak mengerjakan sesuatu karena merasa takut, bukankah lebih baik bila kita mengajak dan melibatkan mereka dalam kegiatan secara bersama-sama. Misalnya, merapikan mainan bersama-sama. Bagaimana pun, mereka hanyalah anak-anak.
Mom, daripada membuat anak mengerjakan sesuatu karena merasa takut, bukankah lebih baik bila kita mengajak dan melibatkan mereka dalam kegiatan secara bersama-sama. Misalnya, merapikan mainan bersama-sama. Bagaimana pun, mereka hanyalah anak-anak.
2. Tidak sesuai harapan
Seringkali
kita merasa kecewa ketika anak jauh dari harapan. Atau, berdecak tak sabar ketika anak
tidak bisa melakukan hal-hal yang kita anggap sederhana. Sementara di luar sana, anak-anak lain
dapat melakukannya dengan mudah.
Jujur, Mom, dulu saya sering memarahi Si Sulung, hanya karena ia tidak berani main
seluncuran. Saya geram bukan kepalang, ketika ia tak bisa melangkah melewati
polisi tidur tanpa berpegangan tangan. Saya kecewa berat, ketika ia belum juga
bisa melompat di usianya yang baru 4 tahun.
Saya
lupa, meski ia tidak bisa melompat dengan lincah. Juga bukan anak yang berani menaiki
papan seluncuran, ia sesungguhnya anak yang lucu dan menggemaskan. Ia
pintar bercerita, pintar bernyanyi dan pintar menyenangkan orang lain.
Kemarahan
membuat saya tidak bisa melihat kelebihan anak. Dan itu membuatnya merasa tertekan. Andai saya bisa memutar ulang waktu, yang ingin saya lakukan hanyalah memeluknya. Dan, membisikkan betapa bangga saya memilikinya.
Mencoba berempati
terhadap apa yang ia rasakan. Merasakan ketakutan dan kecemasannya. Sungguh,
yang ia butuhkan adalah dukungan untuk berani melangkah melewati
tantangan. Bukan wajah cemberut ibunda.
3. Rasa jenuh dan lelah yang tak berujung
Menjadi
full time mom memang tak mudah. Rasa jenuh dan pekerjaan domestik yang tak
ujung seringkali muncul dalam bentuk kemarahan yang siap diumbar setiap saat.
Tak
perlu peristiwa besar untuk menunggu muntahnya amarah, cukup hal-hal sepele yang
sering dilakukan Si Kecil. Semisal, melukis dinding rumah dengan crayon. Atau,
menumpahkan air minum di lantai.
Mom,
bila Anda berada di titik ini, segeralah me-refresh diri. Lalukan penyegaran.
Me time. Mintalah time out sejenak pada suami. Lakukan apa yang ingin Anda
lakukan untuk menyenangkan diri sendiri.
Tak
perlu mengeluarkan biaya besar. Cukup memeluk diri sendiri, dengan
semangkuk baso pedas atau menikmati novel-novel favorit. Bisa juga dengan meluangkan waktu
untuk menulis. Atau, mengobrol dengan
teman-teman dekat. Intinya, beristirahat sejenak dari rutinitas harian.
4. Memetik buah kemarahan
Kata
orang anak adalah cermin terbaik. Ia akan memantulkan bayangan sesuai dengan
citra yang ditangkapnya melalui indera. Sayang sekali kita kerap lupa, bahwa
tingkah laku anak merupakan cerminan sikap kita terhadapnya.
Saya
teringat, dulu sekali, saking marahnya pada anak, saya pernah melempar benda ke dinding. Ketika
itu tak terpikir bahwa anak kedua saya begitu cepat menangkap momen yang hanya
satu kali saya lakukan.
Apa
yang terjadi kemudian?
Setiapkali
merasa marah, ia dengan spontan melempar benda apa pun yang ada di tangannya.
Tahukah, Mom, butuh waktu lama untuk menghilangkan kebiasaan buruk itu.
Menyadari
kesalahan, memang selalu menjadi hal yang paling menyakitkan dalam proses mendidik
anak. Kerap emosi kita tersulut ketika melihat anak melakukan hal-hal buruk, padahal mereka hanya memantulkan sikap yang pernah kita tunjukkan pada mereka.
Mau tidak mau, meski menyakitkan, evaluasi diri harus kita lakukan untuk
memperbaiki sikap kita terhadap anak-anak. Hingga akhirnya anak pun akan
menampilkan sikap sesuai dengan yang kita inginkan.
5. Tekanan berat yang dialami
Tekanan
berat yang dialami ibu, kerap membuat ibu kesulitan mengelola amarah. Ini
manusiawi, Mom. Bukankah setiap orang akan mengalami ujian dalam hidupnya? Terlebih bagi seorang ibu. Sayangnya, biasanya ujian datang secara beruntun dan tak terduga.
Ketika
kita terjebak di dalam badai masalah, dan nyaris putus asa, mendekatkan diri
pada Yang Maha Kuasa adalah solusi yang paling aman, nyaman serta mudah.
Dengan
bersandar pada Dzat Yang Maha Perkasa,
Allah Swt, kita akan mendapatkan kekuatan dan optimisme dalam menghadapi
tekanan yang kita temui dalam kehidupan.
Nah,
Sahabat Moma, saya akui, mengelola amarah bukanlah hal yang mudah. Namun,
dengan mengenali sumber pemicu amarah, kita akan lebih mudah mengambil sikap
yang lebih bijak. Tidak hanya bagi buah hati kita, melainkan juga
menyenangkan bagi diri kita sendiri.
Selamat mencoba... Selamat menikmati hari-hari yang menyenangkan!
Baca juga :
Membangun Kerjasama dengan Anak
Ujian Hidup Tak Mengenal Usia
Selamat mencoba... Selamat menikmati hari-hari yang menyenangkan!
Baca juga :
Membangun Kerjasama dengan Anak
Ujian Hidup Tak Mengenal Usia
Aku bgt nihhh...kl udah Capek bawaannya lbh mudah emosi. Mana anakku kembar jdnya mrk partner in crime
BalasHapusAyo me time bundaaa....
HapusAku temenin deeeeh
Makasih tipsnya.
BalasHapusBaca artikel ini seperti melihat cermin. Aku banget hehehehehe... Tapi sekarang anak2 udah gedhe, tinggal ketawa sendiri kalau ingat kelakuan mereka saat balita.
Hihihi.... ketawa sambil meringis kalo liat keketusan anak-anak itu.
HapusNempel bangeeeeet ajaran si mamah muda
Pas banget mbak tipsnya untukku. Yang bikin nyesel itu, udah tau teorinya tapi nerapinnya huhuhu.. Ga semudah membalikkan telapak tangan. Rasanya kalau habis marah2 gitu... Nyesel bukan main. Kupeluk anakku sambil berbisik, maafin bunda ya nak.
BalasHapusTambah nyesek.. Ketika si anak senyum dan mencium pipiku.. Huhu bener2 mengasuh anak itu mengasuh diri sendiri. Justru dari anak dapat banyak ilmu...
Makasih momaliza tips kerennya!
Embeeeeeerrr.... teori dimana-mana gampaaang.
HapusPraktek yang susah minta ampun
Hiks, serasa bercermin. TFS Mbak Liza...
BalasHapusTernyata aku gak sendiri.....
HapusHuhuhuhu dan saya cuma bisa nangis karena setiap kali saya marah setiap kali itu pula sy menyesal tp ternyata tak bisa mencegahnya saat amarah itu datang.
BalasHapusKok jadinya anak2 ga mau denger klo gak pale marah *duuuh!
Makasih sharingnya mba. Jujur pelajaran terberat dlm hidup adalah menjadi ibu.
Betul.... menjadi ibu tuh pelajaran terberat dan gak pernah mengenal kata tamat.
HapusIni reminder banget buat aku, mbak Liza. Aku masih susah mengontrol emosi, terutama ketika anak-anak aku anggap nggak patuh, nggak nurut atau melakukan sesuatu yang menurutku berbahaya.
BalasHapusHarus belajar sabaaar lagi
Yuk, sama-sama belajar mbak Ika ^_^
Hapusaku sudah berhasil mengenali diri sendiri, mba. Pas PMS dan tanggal tua jangan ada yg berani nyolek-nyolek akuh. Ya ampun, masalah kecil aja seakan-akan bisa bikin emosi meledak pada saat itu.
BalasHapusJadi biasanya aku udah wanti2 ke anak2. Alhamdulillah mereka ngerti.
Good job, Mom.
HapusMengenali diri sendiri sangat membantu dalam mengelola emosi. Penting bangeeet.
Syukurlah anak-anak memahami ^_^
Jika saya marah juga saking kagetnya suka meledak2 mba tapi seiring berjalan waktu dan informasi yang saya dapatkan akhirnya saya mampu menahan amarah saya lewat diam. Setelah itu saya katarsis nyuci piring atau beres2 stlh saya uda mulai reda baru saya omongin anak saya. Tapi emang betul mba pemicu utama marah adalah kelelahan :(
BalasHapusYa, kita semua berproses, termasuk anak-anak.
HapusSemoga langkah kita senantiasa dimudahkan berproses menuju kebaikan. ^_^
Saya punya sepupu yang memang pemarah banget terhadap anaknya. Bahkan kerap memukul tanpa ampun. Sedih melihat anaknya kena marah dan jadi nangis melulu. Sudah dinasehatin teteup aja begitu. Nanti saya mau minta dia baca postingan ini, ah. TFS, Mba LIza.
BalasHapusWaduuuuuuuh.... kasian banget anak-anaknya.
HapusSemoga mamanya cepet menyadari, bahwa, anak-anak juga perlu disayang dan dicintai. Agar dimasa tua, mereka pun menyayangi kita.
Trims sudah mampir ^_^
Aku juga masih suka emosian, duuhhh...
BalasHapusHayuk, Bu, kita sama-sama latihan mengelola emosi dan sering-sering memeluk buah hati kita.^_^
HapusHuhu, kalo berurusan dengan anak kecil memang kudu sabar ya. Kasian kalo kena marah, kasian kondisi psikisnya ><
BalasHapusIya, harus tarik ulur sama anak-anak. Bukan berarti tidak boleh marah sama sekali, ya, Bun.
HapusAda saatnya kita harus menunjukkan sikap marah, demi kebaikan mereka.
Marah yang terlarang itu, marah yang asal diumbar, sekadar melampiaskan kekesalan kita.
Iya Mbaaak, susah juga nih. Kadang emang suka memancing emosi. Baru makan malam misalnya, cari-cari alesan biar makan di luar, bilang: bu, lapeeer. Aiish, ayahnya yang baru pulang kerja, ngelirik dong, nih anak masa ga dikasih makan. Hahaha. Sewot ga siiih...
BalasHapushahaha... itulah anak-anak, suka nyari-nyari kesempatan.
HapusIseng-iseng berhadiah!
Tarik ulur aja deh dengan anak. Biar dapet win-win solution!
Kadang klo capek, rumah berantakan anak-anak ributt duhhh cuma bs idtighfar ajalah.
BalasHapusBetul, Mbak Kurnia, istighfar bisa mengurangi keinginan untuk marah. Abis gimana lagi, namanya juga anak-anak. Gak seru juga kan kalo mereka cuma diam.
HapusAku termasuk yg gak bisa marah malahan
BalasHapusWaaah.... asyik dong. Pantesan Mbak Ade tampil fresh terus yaaa.
HapusSepertinya harus diterapan sama diri sendiri nih. :) Makasih infonya
BalasHapusapalagi pas bagian kudu me time ya mbak Nisa.
HapusHarus bin wajib ituuuuuu
point 1, 3 dan 4 adalah hal yang paling sering memicu amarah...hiks
BalasHapussampe detik ini....
padahal sudah janji terus dalam hati untuk tak sering2 marah...huhuhu
Manusiawi kok, Uni Dian. Asal, frekuensinya dikurangi setahap demi setahap. Nyesel loh, marah-marah terus... aku aja suka nyesel.
HapusAku yg point lelah, sm point terakhir mbk, 2 hal itu sukses selalu bikin aku berubah jadi maknyonyor
BalasHapusHahaha.... padahal rasanya gak mungkin juga jadi ibu tanpa lelah ya, Mba Inda?
HapusYuk me time an.
Aku banget..klo aku biasanya klo capek, suami nggak pulan2 pdhl jam kantornya udah kelar. Eh..2 anak malah bertingkah, rebutan misalnya..
BalasHapusIni yang sering jadi pemicu mba..
Emang kadang gitu sih Mbak Sulis, di saat emak sutris anak-anak tingkahnya tambah ajaib (perasaan kitaa aja kali ya?)
HapusSedang belajar untuk bersabar dan memajamen marah mbak. Terima kasih sharingnya sangat bermanfaat
BalasHapusHuhuhu awa2 berumah tangga masih banyak adaptasi sana sini. Numpuk sampah emosi. Kerjaan banyak, bayi baru 6 bulan terus isi lagi... Wis marah2 jadi menu harian hiks hiks
BalasHapusHuhuhu awa2 berumah tangga masih banyak adaptasi sana sini. Numpuk sampah emosi. Kerjaan banyak, bayi baru 6 bulan terus isi lagi... Wis marah2 jadi menu harian hiks hiks
BalasHapuskwkwkw..jenuh dan lelah tak berujung..ini sebabnya marah saya Mbak:D
BalasHapusBtw, thanks tipsnya!
Hihihu...pas bgt baca ini pas ada ujian menahan marah sm si sulung yg manyun dr tadi krn sesuatu hal..makasih mama liza
BalasHapusTerima kasih Mom Liza. Saya adalah mama yang pemarah. Persis kayak artikel di atas. Saya sering lepas kendali, padahal saat ini si kecil lagi dalam usia emas. Doakan saya bisa berbenah diri dan menjadi ibu yang lebih baik.
BalasHapus