Sebagai ibu rumah tangga yang berkutat dengan
pekerjaan rumah yang tiada habisnya, kerap menimbulkan kejenuhan bagiku. Sering
aku merasa dikejar-kejar 'deadline', misal : setrika baju seragam bapak, memasak
untuk sarapan, menjemur popok, dsb. Dua puluh empat jam sehari kadangkala
terasa kurang untuk menyelesaikan semua PR itu.Rasa-rasanya hidupku hanya habis
untuk urusan domestik dan tidak menyisakan sedikit waktu pun bagiku untuk
mengembangkan potensi diri. Pun sekadar merehatkan tubuhku yang letih.
Kehadiran enam orang buah hati, dengan rentang usia
yang berbeda (dua orang ABG, dua usia SD dan dua balita) juga menimbulkan
persoalan tersendiri. Di samping biaya yang harus dikeluarkan lumayan besar, juga
memerlukan keterampilan lebih. Bukan saja menyiapkan kebutuhan fisik mereka,
melainkan juga memperhatikan kebutuhan mereka akan kasih sayang, perhatian juga
pengetahuan mengenai berbagai hal.
Namun aku percaya, tidak ada hal yang sulit di
dunia ini, melainkan ada kemudahan yang menyertainya. Begitu pun dengan
kehidupanku. Aku percaya, banyaknya anak yang dititipkan Tuhan melalui rahimku
adalah anugrah yang tak boleh kuingkari.
Aku ingin mematahkan anggapan sementara orang
yang beranggapan memiliki anak banyak tak ubahnya memasuki penjara yang mematikan produktivitas, kreativitas bahkan
identitas diri seorang ibu. Benarkah?
Pekerjaan domestik yang selalu memenuhi agenda
setiap ibu rumahtangga memang tak bisa diabaikan. Mempekerjakan tenaga seorang
asisten rumahtangga pun, bukanlah hal yang mudah. Terutama bagi kita yang
berdomisili di kota besar dengan penghasilan yang tak berlebih. Satu-satunya
cara adalah dengan memberdayakan seluruh anggota keluarga.
Membangun sebuah kerjasama yang melibatkan
seluruh anggota keluarga, terkecuali dua anggota terkecil yang masih balita.
Ini pun memerlukan keterampilan, agar mereka memiliki kesadaran dan komitmen
untuk menciptakan keluarga yang harmonis.
Tidak mudah pada mula. Anak-anak memprotes
kerja-kerja domestik (semisal: cuci piring, membersihkan lantai, menyapu
halaman, membuang sampah, dsb.) yang dibebankan pada mereka. Mereka
membandingkan dengan teman-teman mereka yang bebas melakukan aktivitas tanpa
harus melakukan pekerjaan rumah tangga terlebih dahulu. Bahkan mereka pun saling iri melihat
saudara-saudaranya yang kelihatannya sedang tidak membantu atau mendapat porsi
yang lebih ringan.
Aku kembali harus menjelaskan mengapa mereka
harus melakukan sejumlah hal, mengerjakan banyak hal sementara yang lain tidak.
Aku pun mengadakan kompromi dengan sejumlah kerja-kerja rutin. Mengajukan
tawar-menawar kerja yang menjadi tanggung jawab anggota keluarga. Memotivasi
dan membangkitkan kesadaran mereka secara berkesinambungan.
Hingga akhirnya beban kerjaku berkurang secara konstan.
Aku tak lagi dijebak kerja-kerja rutin yang menguras seluruh potensiku. Aku
mulai membangun lagi impian yang lama kupendam.
Anak-anakku mendukung sepenuh hati. Mereka tak
keberatan lagi melakukan berbagai hal
sesuai dengan kewajiban mereka, bila itu artinya, ibu bisa mengembangkan
diri. Mereka tidak saja mengurai penatku, tapi juga membantuku merajut mimpi.
Mimpi menjadi seorang penulis.
Alhamdulillah, kerjasama yang terbentuk, meskipun
tak jarang terkena badai kejenuhan dan erosi rasa iri di antara anak-anak, pada
akhirnya memampukan aku untuk berani melangkah lebih maju menuju impian.
Pencapaian-pencapaian yang dulu terlihat mustahil, kini secara pelahan dan
pasti menemukan bentuknya.
Tidak kesuksesan yang bisa dibangun seorang diri,
maka, dengan kesadaran penuh, aku memberikan penghargaan khususnya pada
anak-anakku, suamiku serta teman-teman yang tergabung komunitas menulis IIDN,
sebagai tim sukses bagi pencapaian yang telah dan akan kuraih kelak. Tanpa
mereka semua, aku hanyalah seoranng IRT yang tak berani ,pun, sekadar bermimpi.
Susah memang membangun kerjasama kaya' gini. Makanya harus ditanamkan sejak dini agar mereka terbiasa.
BalasHapusBetul...
HapusSaya sering dinasehati ibu-ibu tetangga mamaku, katanya, jangan mau repot sendiri. Suruh anak-anak bekerja ini-itu sejak kecil. Supaya nanti besar biasa membantu. Gitu kata mereka Mbak Anisa :)
hehehe kebeneran kaaan?